Jumat, 18 Februari 2011

Curhat Setan[Extended]: Al-Quranyang Dibakar!

Pembatalan pembakaran Al-
Quran hanya omong kosong
belaka. Faktanya, dua pendeta
justru melakukannya. Yang
melakukan bukan Pendeta
Terry Jones, tapi kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old
bersumpah melaksanakan
aksinya membakar Al-Quran.
Bersama Pendeta Danny Allen,
Old melakukan aksinya di
hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan
awak media, Sabtu (11/9) lalu,
sama persis pada hari yang
dideklarasikan Terry Jones. Kedua pendeta itu menyiram
dua buah mushaf dan sebuah
teks Islam lainnya dengan
cairan pembakar, lalu
menyulutnya dengan api.
Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat
Islam itu menjadi abu. Aksi dua pendeta itu
dilakukan di pekarangan
belakang kediaman Old.
Mereka mengatakan aksinya
merupakan pesan dari Tuhan.
Old mengatakan gereja telah mengecewakan banyak orang
karena tidak mendukung
aksinya. “Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada
dalam bahaya, ” ujarnya sebagaimana dikutip media
online Tennessean (12/10). “Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta, ” katanya sambil memegang
Al-Quran sebelum kemudian
membakarnya. “Ini adalah kitab palsu, Nabi Muhammad
adalah nabi palsu dan itu
merupakan wahyu palsu, ” tambahnya. Kedua pendeta itu lantas
melakukan apa yang
disebutnya sebagai
“demonstrasi damai ” dengan sedikit gegap gempita.
Delapan orang wartawan ikut
menyaksikan aksi kedua
rohaniwan gereja itu. “Anjing !” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu,
“Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka !” Umpatan-umpatan dan caci-
maki saya keluar tanpa
kontrol. “Setan !” teriak saya sekali lagi. Tiba-tiba Tuan Setan muncul di
hadapan saya! Wajahnya
penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu !” kata Tuan Setan tiba-tiba. Jelas saya berang mendengar
ucapannya. Emosi saya naik
pitam. Dada saya turun naik.
Dan seketika kutuk dan
serapah membrudal dari
mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa
simpati kepadamu! Kau
ternyata memang pantas
dilaknat dan dimusuhi!
Terkutuklah kau !” “Bakarlah Al-Quranmu !” katanya sekali lagi, dengan
nada yang lebih tegas.
Matanya nyalang. Gigi-giginya
gemertak. Lalu telunjuknya
mengarah tepat ke wajah
saya. “Bakar !” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi
kertas, bakarlah! Bakarlah !” Napas saya turun naik, mata
saya memerah, tangan saya
mengepal. “Terkutuklah kau !” teriak saya. “Mana Al-Quranmu !?” bentak Tuan Setan. Tiba-tiba saya tersentak. Tiba-
tiba saya merasa harus
menemukan Al-Quran milik
saya yang entah saya simpan
di mana, sementara Tuan
Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al- Quranmu!” Saya terus mencari. Di manakah saya menyimpan
Al-Quran saya? Saya
membongkar isi lemari,
mengeluarkan buku-buku,
berkas-berkas, tumpukan
kliping koran, dan kertas- kertas apa saja dari dalam
lemari. Di manakah Al-Quran
saya? Saya mulai resah
mencari di mana Al-Quran
saya. Saya ke ruang tamu, ke
ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya
memeriksa ke belakang
lemari, ke sela-sela tumpukan
kaset dan CD-CD, ke mana-
mana. Tetapi, saya tak
menemukan Al-Quran saya! Di manakah saya menyimpan
Al-Quran saya? “Bakarlah Al-Quranmu !” sementara Tuan Setan terus-
menerus berteriak, “Bakar !” Saya mulai panik dan resah,
kemarahan saya mulai pudar,
ternyata saya tak bisa
menemukan Al-Quran saya
sendiri. “Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas
usang yang kausia-siakan !” kata Tuan Setan tiba-tiba. Dada saya berguncang hebat.
Pelan-pelan tapi pasti saya
mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus
mencari Al-Quran saya. Di
mana Al-Quran saya? Ada
sebuah buku tebal berwarna
hijau di atas lemari tua di
kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah
saya ambil ternyata bukan:
Life of Mao. Saya kecewa.
Saya terus mencari sambil
diam-diam air mata saya mulai
meluncur di tebing pipi. “Bakarlah Al-Quranmu !” suara Tuan Setan kembali memenuhi
ruang kesadaran saya. Tetapi
kini saya tak bisa marah lagi,
ada perasaan sedih dan
kecewa mengaduk-aduk dada
saya. Ada sesak yang tertahan, sementara isak
tangis tak sanggup saya
tahan. Akhirnya saya menyerah.
Saya tak menemukan Al-
Quran saya di mana-mana di
setiap sudut rumah saya! Kemudian Tuan Setan
tersenyum menang, ia
menyeringai dan menatap
saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat
ada orang yang membakar
dan menginjak-injak Al-
Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau
sendiri tak
memperdulikannya selama
ini?” Saya terus menangis. Dada
saya berguncang. Tuan Setan
tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang
menyia-nyiakan dan
merendahkan Al-Quran
sementara kau sendiri
melakukannya —diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih
yang mengaliri dada saya,
mendesir gamang ke seluruh
persendian saya. Tiba-tiba saya ingat sebuah
tempat: gudang belakang
rumah. Barangkali Al-Quran
saya ada di situ! Saya bergegas bangkit dari
tubuh saya yang tersungkur,
saya berlari menuju gudang
belakang, membuka
pintunya, lalu menyaksikan
tumpukan barang-barang bekas yang usang dan
berdebu. Sebuah kotak
tersimpan di sudut ruang
gudang, saya segera ingat di
situlah saya menaruh buku-
buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya
hamburkan isi kotak itu,
membersihkannya dari debu,
dan akhirnya … saya mendapatkannya: Al-Quran
saya! Saya menatap Al-Quran saya
dengan tatap mata rasa
bersalah. Saya mengusap-
usapnya, meniupnya,
membersihkannya dari debu
yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya
mendekapnya erat-erat — mengingat masa kecil saya
belajar mengeja huruf
hijaiyyah, menghafal surat Al-
Fatihah … “Astagfirullahaladzhim …” tiba-tiba dada saya
bergemuruh, air mata saya
menderas. Tuan Setan tertawa lepas.
“Bakar saja Al-Quranmu !” katanya sekali lagi,
“Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek. Saya masih mendekap Al-
Quran saya, tergugu dengan
dada seolah tersayat sembilu. “Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu
mengatakan bahwa Al-Quran
adalah buku yang penuh
kebencian, bukankah mereka
hanya menilainya dari
perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka
mengira Al-Quran hanyalah
kitab omong kosong dan
Muhammad yang
membawanya hanya nabi
palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu
karena kau —kalian semua — tak pernah sanggup
menunjukkan keagungan dan
keindahannya? Kau, kalian
semua, harus menjelaskannya! “Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-
Quran, membacanya pun kau
tak! Jangankan menaklukkan
musuh Tuhan sementara
menaklukkan dirimu sendiri
pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah
mengajarkan permusuhan dan
kebencian, Al-Quran tak
pernah mengajarkan hal-hal
yang buruk, lalu kenapa kau
terus-menerus melakukannya? Al-Quran
selalu mengajarimu kebaikan,
mengapa kau tak pernah mau
mengikutinya? Heh, ya, aku
baru ingat, jangankan
mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya
pun kau tak! “Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar?
Mengapa kau tak memarahi
dirimu sendiri saat kau
menyia-nyiakan Al-Quranmu?
Ini bukan semata-mata soal
pendeta yang membakar Al- Quran, ini bukan semata-mata
soal pelecehan terhadap
institusi agamamu, ini bukan
semata-mata soal permulaan
dari sebuah peperangan antar-
agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-
nyiakan Al-Quran, tentang
kau yang secara laten dan
sistematis menyiapkan api
dan bensin dari perilaku
burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu
yang meminjam tangan
orang-orang yang membenci
agamamu! Mereka tak akan
berani membakar Al-Quran,
kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup
menunjukkan nilai-nilai agung
yang dibawa Nabimu, nilai-
nilai kebaikan yang
termaktub dalam teks suci
kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak
sanggup menggemakan Quran
amanat Nabimu ke segala
penjuru, tak sanggup
menerima cahayanya dengan
hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ” Lalu seketika terbayang, Al-
Quran yang teronggok sia-sia
di rak-rak buku tak terbaca,
Al-Quran yang diletakkan di
paling bawah tumpukkan
buku-buku dan majalah, Al- Quran yang kesepian tak
tersentuh di masjid dan
langgar-langgar, Al-Quran
yang tak terbaca dan (di)sia-
sia(kan)! Saya menangis; memanggil
kembali hapalan yang entah
hilang kemana, mengeja
kembali satu-satu alif-ba-ta
yang semakin asing dari
kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan
saya yang terlanjur dijejali
kebohongan, kebebalan,
penipuan, dan pengkhianatan-
pengkhianatan. Di manakah
Al-Quran dalam diri saya? “Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri !” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah
palsumu, hentikan aksi
solidaritas penuh
kepentinganmu, hentikan
rutuk-serapah politismu,
sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran!
Bakarlah !” Tuan Setan tertawa lepas. “Maafkan …” suara saya tiba- tiba pecah menjelma tangis,
“Maafkan …,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-
Quran yang kugamit di lengan
kananku. “Bakar saja Al-Quranmu !” teriak Tuan Setan yang
kutinggalkan di gelap ruangan
gudang. Lamat-lamat
tawanya masih ku dengar di
ujung jalan. Saya mencari masjid, saya ke
mal, saya ke pasar, saya ke
terminal, saya ke sekolah,
saya ke mana-mana … Saya ingin mencari mushaf-mushaf
Al-Quran yang disia-siakan.
Saya ingin membersihkannya
dari debu dan mengajak
sebanyak mungkin orang
membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah
yang galau. Saya ingin
mengabarkan keagungan dan
keindahan Al-Quran, tapi
bagaimana caranya?
Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin
menggaungkannya di mana-
mana, tapi bagaimana
caranya? Saya terus bertanya-tanya
bagaimana agar Al-Quran tak
dibakar? Bagaimana agar Al-
Quran tak terbakar?
Bagaimana? Ya, Tuhan akukah insan
yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang
sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam
muntahan isi bumi Aduhai, akan kemanakah
kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan
maksiat yang kutimbun
saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah
kubuat? Ya Tuhan, nafasku
gemuruh, diburu
firmanmu! [KH. Mustafa Bisri,
Tadarus] Saya terus menangis dalam
langkah-langkah gelisah yang
bergegas, haruskah saya
melawan semua ini dengan
amarah dan kebencian?
Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka
semua yang membenci Al-
Quran bahwa sungguh
mereka telah keliru? Haruskah
saya kembali marah dan
membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih
baikkah jika saya jawab
mereka dengan cinta dan
kasih sayang —meneladani Muhammad dengan
menunjukkan kepada mereka
kebaikan cahaya Al-Quran
karena sesungguhnya mereka
hanya belum tahu!? “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Bacalah !” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi,
“Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-
Quran bukanlah kertas yang
bisa mereka bakar. Bacalah Al-
Quran hingga suaranya
terdengar oleh hatimu,
bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak
akan kecewa mendapati
mushaf-mushaf yang
terbakar atau ayat-ayat yang
teronggok di ruangan-
ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah
mushaf, Al-Quran adalah
semesta, nama di luar kata!
Maha benar Allah dengan
segala firman-Nya. ” Saya terdiam mendengar
kata-kata Tuan Setan yang
terakhir, “Tuan Setan? Sebenarnya siapakah kamu?
Apa agamamu ?” Ia terkekeh, bahunya
berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu:
berlarian atau terbang atau
tertawa tanpa suara, sesuatu
yang lama kau idamkan tetapi
lupa kau sapa. Akulah yang
membakar Al-Quranmu !” Ia terus terkekeh, terbatuk,
lalu menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar