Minggu, 27 Februari 2011

Siksaan 90 Menit oleh Jupe-Depe


“" Kata-kata kasar dan umpatan bertebaran
sepanjang film. "” Julia Perez dan Dewi Perssik
adalah dua penari Jaipong
yang bersaing untuk menjadi
primadona klub. Untuk
menjadi primadona, Jupe dan
Depe harus memakai baju seksi yang menampakkan
belahan dada dan kain tipis
menerawang. Persaingan
terjadi di atas panggung
sebuah klab malam saat
keduanya menarikan tarian erotis. Memasuki bioskop, kami
disambut poster film Arwah
Goyang dengan plester hitam
besar pada tulisan Karawang.
Judul film yang semula
Arwah Goyang Karawang diganti menjadi Arwah
Goyang Jupe Depe. Sepertinya setengah durasi
diisi dengan tarian Jupe dan
Depe. Jupe menari seperti
kesurupan diiringi suara
auman harimau. Sepertinya
Pada puncak kesurupannya, Jupe tiba-tiba punya taring
seperti drakula. Sampai film
berakhir, maksud adegan ini
tetap menjadi misteri. Efek hantu dirancang sebagai
alat untuk mengagetkan
penonton. Kemunculan hantu
selalu diawali dengan auman
harimau dan musik latar yang
menegangkan. Jreng! Hantu muncul selama satu detik
dalam wujud ala topeng di
film Scream yang memenuhi
layar. Pola film ini adalah tarian
erotis-kemunculan hantu-
perkelahian Jupe Depe-tarian
erotis-kemunculan hantu dan
seterusnya. Hantu itu
membunuhi orang yang terkait dengan Jupe, juga
membunuh beberapa orang
secara acak. Pada akhirnya
terungkap bahwa hantu itu
adalah saudara kembar Jupe
yang dendam karena suaminya direbut dan dia
dibunuh. Anehnya, hantu itu
juga membunuh suaminya
sendiri, entah karena alasan
apa. Jalan cerita yang sederhana
dibuat dengan tidak
konsisten. Tak perlu bertanya
tentang pembangunan
karakter, karena semua
karakter bergerak sesuai keinginan sutradara. Beberapa
adegan sebenarnya tidak
perlu ada, seperti adegan Jupe
mandi kembang tengah
malam. Jangan lupa adegan legendaris
perkelahian nyata Depe Jupe.
Kedua perempuan ini
berkelahi dengan mengadu
dada. Tak lupa, tulisan "adegan
nyata" ditempelkan di sudut kanan bawah agar penonton
tidak melewatkan adegan
yang sempat ramai
diberitakan infotaintment itu. Pembuat film merasa perlu
menanamkan moral dari film
ini, bahwa penari jaipong tak
seharusnya menari striptease.
Moral ini ditunjukkan saat
hantu yang menyamar menjadi Jupe menolak menari
jaipong striptease. "Saya
merasa telah
menyalahgunakan kesenian,"
kata dia, dua kali. Penonton hari itu cukup
banyak, sebagian besar adalah
anak-anak muda usia belasan.
Mereka datang berdua dan
berombongan. Penonton yang
datang berombongan memilih tempat duduk tepat di
tengah, tempat terbaik untuk
menikmati film. Mereka yang
menonton berdua
kebanyakan memilih duduk
di pojok yang sepi. Film dibuat dengan format
digital, setelah itu barulah
dipindahkan dalam format
seluloid. Trik ini biasa
dilakukan untuk menekan
ongkos produksi, karena merekam langsung dengan
format seluloid butuh biaya
jauh lebih mahal. Hasilnya
adalah film yang murah
dengan gambar kualitas
rendah. Kualitas gambar sangat
rendah dan kadang
berbayang. Pengaturan
cahaya sangat buruk sehingga
saya seringkali harus menutup
mata karena tak tahan dengan lampu sorot yang
menyilaukan. Kata-kata kasar dan umpatan
bertebaran sepanjang film.
Kami menghitung ada 19 kata
"lonte" diteriakkan sepanjang
film, ditambah satu yang
tertulis di kaca dengan darah. Tidak jelas di mana setting
film ini. Lokasi syuting
menunjukkan bangunan-
bangunan di sebuah kota
kecil. Tapi saat adegan
berganti, tiba-tiba layar menyorot ke jalan dengan
gedung bertingkat yang jelas-
jelas Jakarta. Keluar dari bioskop dengan
sangat lega karena film
akhirnya selesai, saya melihat
poster film selanjutnya sudah
tersedia. Dedemit Gunung
Kidul, Cewek Saweran dan Pocong Ngesot dengan slogan
"ketika pocong tak lagi
loncat". Tiba-tiba saya
mengerti kenapa para
penikmati film sangat
khawatir ketika muncul isu bahwa film asing tak lagi bisa
dinikmati di bioskop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar