Senin, 14 Februari 2011

Detik - - detik detik menjelang menjelang kematian kematian mantan mantan presiden presiden Sukarno

DETIK-DETIK MENJELANG
KEPERGIAN MANTAN
PRESIDEN SOEKARNO
Jakarta , Selasa, 16 Juni 1970.
Ruangan intensive care RSPAD
Gatot Subroto dipenuhi
tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan
bersenjata lengkap bersiaga
penuh di beberapa titik strategis rumah sakit
tersebut. Tak kalah
banyaknya, petugas
keamanan berpakaian preman juga hilir
mudik di koridor rumah sakit
hingga pelataran parkir. Sedari pagi, suasana
mencekam sudah terasa.
Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden
Soekarno akan dibawa ke
rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma
Yaso yang hanya berjarak
lima kilometer. Malam ini desas-desus itu
terbukti. Di dalam ruang
perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran
seorang mantan presiden,
Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa
hari ini kesehatannya sangat
mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus
memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak
dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan
tubuhnya. Lelaki yang pernah
amat jantan dan berwibawa dan sebab itu
banyak digila-gilai perempuan
seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai
sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini wajah yang dihiasi gigi
gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa
racun telah menyebar ke
mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan.
Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-
pidatonya yang sangat
memukau, kini hanya terkatup rapat dan
kering. Sebentar-sebentar
bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu
sanggup meninju langit dan
mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi
tubuhnya yang kian kurus. Sang Putera Fajar tinggal
menunggu waktu. Dua hari
kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati
diizinkan tentara untuk
mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang
tergolek lemah dan tidak
mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan
airmata. Bibirnya secara
perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini. "Pak,Pak,iniEgaâ?¦" .Senyap. Ayahnya tak bergerak. Kedua
matanya juga tidak
membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-
pecah bergerak-gerak kecil,
gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada
puteri sulungnya itu.
Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia
tidak mampu membuka
matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin
menuliskan sesuatu untuk
puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah
untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi. Melihat kenyataan itu,
perasaan Megawati amat
terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini
menitik jatuh. Kian deras.
Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan
sapu tangan. Tak kuat
menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega
segera dipapah keluar. Jarum
jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan
tentara terus berjaga lengkap dengan
senjata. Malam harinya ketahanan
tubuh seorang Soekarno
ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter
segera memberikan bantuan
seperlunya. Keesokan hari, mantan wakil presiden
Muhammad Hatta diizinkan
mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang
ditemani sekretarisnya
menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-
hati. Dengan segenap
kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno
berhasil membuka matanya.
Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata
lemah. "Hatta.., kau di sini..?". Yang disapa tidak bisa
menyembunyikan
kesedihannya. Namun Hatta
tidak mau kawannya ini mengetahui
jika dirinya bersedih. Dengan
sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik
hati, Hatta berusaha
menjawab Soekarno dengan
wajar. Sedikit tersenyum menghibur. "Ya, bagaimana keadaanmu,
No?" . Hatta menyapanya
dengan sebutan yang digunakannya di masa
lalu.Tangannya memegang
lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya.
Dia ingin memberikan
kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini. Bibir Soekarno bergetar, tiba-
tiba, masih dengan lemah, dia
balik bertanya dengan bahasa Belanda.
Sesuatu yang biasa mereka
berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam
Dwi Tunggal. "Hoe gaat het
met jouâ?¦?" Bagaimana keadaanmu? Hatta memaksakan diri
tersenyum. Tangannya masih
memegang lengan Soekarno. Soekarno kemudian terisak
bagai anak kecil. Lelaki
perkasa itu menangis di depan kawan
seperjuangannya, bagai bayi
yang kehilangan mainan.
Hatta tidak lagi mampu mengendalikan
perasaannya. Pertahanannya
bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis. Kedua teman lama yang
sempat berpisah itu saling
berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu,
waktu yang tersedia bagi
orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan
lama lagi. Dan Hatta juga tahu,
betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang
dialami sahabatnya ini.
Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang
tidak punya nurani. "Noâ?¦" Hanya itu yang bisa terucap
dari bibirnya. Hatta tidak
mampu mengucapkan lebih. bibirnya bergetar
menahan kesedihan sekaligus
kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang. Jauh di
lubuk hatinya, Hatta sangat
marah pada penguasa baru yang sampai hati
menyiksa bapak bangsa ini.
Walau prinsip politik antara dirinya dengan
Soekarno tidak bersesuaian,
namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya
yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno
ketika kawannya ini kembali
memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak.
Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis. Sehari
setelah pertemuan dengan
Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus
merosot. Putera Sang Fajar itu
tidak mampu lagi membuka kedua matanya.
Suhu badannya terus
meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi
bantal dan piyamanya.
Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia
tiga tahun, Karina, hadir di
rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali
pun melihat anaknya. Minggu pagi, 21 Juni 1970.
Dokter Mardjono, salah
seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa
melakukan pemeriksaan
rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono
memeriksa kondisi pasien
istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah
berpengalaman, Mardjono
tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan
penuh hormat, dia memeriksa
denyut nadi Soekarno. Dengan sisa
kekuatan yang masih ada,
Soekarno menggerakkan
tangan kanannya, memegang lengan
dokternya. Mardjono
merasakan panas yang
demikian tinggi dari tangan yang amat
lemah ini. Tiba-tiba tangan
yang panas itu terkulai. Detik itu juga
Soekarno menghembuskan
nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu
lagi untuk membuka.
Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk
selamanya sang Proklamator
telah pergi. Situasi di sekitar ruangan sangat sepi.
Udara sesaat terasa berhenti
mengalir. Suara burung yang biasa berkicau
tiada terdengar. Kehampaan
sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus
menyedihkan. Dunia melepas
salah seorang pembuat sejarah yang penuh
kontroversi. Banyak orang
menyayanginya, tapi banyak pula yang
membencinya. Namun semua
sepakat, Soekarno adalah
seorang manusia yang tidak biasa.
Yang belum tentu dilahirkan
kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini
telah tiada. Dokter Mardjono segera
memanggil seluruh rekannya,
sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama
kemudian mereka
mengeluarkan pernyataan
resmi: Soekarno telah berpulang ke
pangkuan sang pencipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar